Skandal Seragam Sekolah di Kampar: Tiga Kepsek Diduga Bermain dengan Oknum IO, T, dan Penjahit D, Wali Murid Merasa Terbebani

Kampar – dutapekerjaindonesia.com
Praktik pengadaan pakaian seragam siswa yang jelas-jelas telah dilarang pemerintah kembali mencuat di Kabupaten Kampar. Dugaan keterlibatan tiga kepala sekolah negeri di Kecamatan Tambang — SMP Negeri 3, SMP Negeri 7, dan SMA Negeri 2 Tambang — memantik sorotan publik.
Larangan penjualan seragam diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Pasal 181, yang menegaskan bahwa pihak sekolah, baik kepala sekolah maupun guru, dilarang melakukan penjualan seragam sekolah kepada siswa. Namun realitas di lapangan menunjukkan adanya pola kerja sama terselubung antara pihak sekolah dengan pihak ketiga.
Modus Permainan: Dari Oknum Wartawan Hingga Penjahit Lokal
Berdasarkan hasil penelusuran tim media, ketiga kepala sekolah diduga menggunakan jasa dua pihak berinisial IO dan T. Keduanya diketahui berprofesi ganda, selain sebagai pengusaha juga disebut-sebut aktif di dunia kewartawanan.
Seorang penjahit berinisial D, warga Desa Tarai Bangun, ketika ditemui mengaku terang-terangan bahwa dirinya menjadi pemodal sekaligus pengerja seragam tersebut.
“Benar saya yang menjahit dan menjadi pemodal seragam untuk tiga sekolah itu. Kerja sama ini memang melalui IO dan T, yang disebut-sebut sebagai perpanjangan tangan pihak kepala sekolah,” ungkap D.
Wali Murid Tertekan, Biaya Seragam Tembus Rp1,7 Juta
Di SMA Negeri 2 Tambang, setiap siswa dikabarkan diwajibkan membayar sekitar Rp1,7 juta untuk lima stel seragam. Angka ini dinilai sangat membebani orang tua murid, terlebih di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil pasca pandemi dan krisis harga kebutuhan pokok.
Seorang wali murid yang enggan disebutkan namanya mengaku keberatan.
“Kami tidak bisa menolak, karena seolah-olah sudah aturan sekolah. Kalau tidak ikut, anak kami bisa diperlakukan berbeda. Rp1,7 juta itu bukan angka kecil bagi kami,” ujarnya dengan nada kecewa.
Aspek Hukum dan Potensi Maladministrasi
Praktik ini bukan sekadar pelanggaran aturan, melainkan berpotensi masuk kategori pungutan liar (pungli) sebagaimana diatur dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan. Jika terbukti, kepala sekolah dan pihak yang terlibat dapat dikenakan sanksi administratif hingga pidana.
Pemerhati pendidikan di Riau, M. Rizal, S.Pd, M.Pd, menilai praktik jual beli seragam melalui pihak ketiga adalah bentuk penyalahgunaan wewenang.
“Ini jelas modus lama yang terus berulang. Sekolah seharusnya fokus meningkatkan kualitas pendidikan, bukan mencari keuntungan dari siswa. Aparat penegak hukum dan Ombudsman harus turun tangan,” tegasnya.
Tulis Komentar