Korupsi di Riau Masuk “Stadium Empat”, LAKR: Ini Bukan Lagi Kasus Hukum, Tapi Arsitektur Kejahatan

Foto : Direktur LAKR ; Armillis

Pekanbaru – Lembaga Anti Korupsi Riau (LAKR) menyebut praktik korupsi di Provinsi Riau sudah berada pada fase paling parah, diibaratkan sebagai penyakit “stadium empat” yang menggerogoti hampir seluruh sendi pemerintahan dan berlangsung secara sistemik.

Direktur LAKR, Armilis, mengungkapkan kegelisahan ini dalam pertemuan bersama sejumlah pimpinan redaksi media di Pekanbaru. Ia menegaskan, kerja LAKR bukan agenda pribadi atau proyek politik terselubung.

“Kami bukan pemburu kepala. Kami sedang menyusun peta penyakit, dan dalam peta itu, hampir semua titik berwarna gelap,” tegasnya.

Menurut Armilis, korupsi di Riau bukan lagi perilaku menyimpang segelintir oknum. Ia telah menjelma menjadi sistem terorganisir yang bekerja kolektif, saling melindungi, menyimpan rahasia, dan mengunci kekuasaan di antara pelaku.

“Dari legislatif ke eksekutif, dari dinas ke lembaga pengawasan, dari pengadaan proyek ke permainan anggaran, bahkan ke jantung inspektorat — semua terhubung oleh kepentingan dan kehausan akan kuasa dan kekayaan,” jelasnya. “Yang kita hadapi bukan peristiwa hukum, tapi arsitektur kejahatan.”

Dengan mengutip Network Theory, Armilis menyebut korupsi kini hidup dalam jejaring kepentingan yang melibatkan birokrat, pengusaha, bahkan aparat penegak hukum.

“Kalau pelaku besar sulit disentuh, jawabannya sederhana: mereka punya jaring, dan jaring itu melindungi,” ungkapnya.

Ia menilai seruan moral semata tidak cukup. Diperlukan langkah konkret seperti pemutusan jaringan, pelacakan aset, dan pembongkaran sindikat secara sistematis. Sayangnya, banyak laporan masyarakat justru mandek tanpa tindak lanjut.

“Bukti-bukti yang sudah terbuka hanya disimpan dalam map dan dibiarkan lapuk. Hukum tanpa eksekusi adalah ilusi. Dan ilusi keadilan lebih menyakitkan ketimbang ketiadaan hukum itu sendiri,” kata Armilis.

Ia juga memperingatkan munculnya “generasi pemimpin palsu” yang gemar menjual pencitraan, namun sebenarnya hidup mewah dari hasil korupsi.

“Mereka bicara moral di depan publik, tapi sebenarnya tikus yang menggerogoti uang rakyat. Ini yang lebih berbahaya: kemunafikan yang dilembagakan,” tegasnya.

Meski situasi tampak suram, LAKR menegaskan pihaknya tidak ingin terjebak dalam pesimisme. Negara, kata Armilis, harus tetap hadir dalam pencegahan dan pembinaan. Jika aparat kekurangan sumber daya, LAKR siap terlibat dalam penyadaran dan pendidikan antikorupsi.

“Bukan karena ingin panggung, tapi demi masa depan generasi mendatang. Selama rakyat bungkam, para koruptor akan terus berpesta. Jika negara masih punya akal sehat dan nurani, maka inilah saatnya bangun dan bertindak,” tutupnya