Kades Sinama Nenek Rangkap Jabatan Menjadi  Wakil Ketua KNES
Tapung Hulu – Dutapekerjaindonesia.com--| Di tengah gencarnya langkah Presiden Prabowo Subianto melakukan bersih-bersih terhadap mafia dan koruptor dari level pemerintah daerah hingga desa, praktik penyimpangan kekuasaan justru masih mencuat di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
Sosok Abdul Rahman Chan, Kepala Desa Sinama Nenek, kini tengah menjadi sorotan warga lantaran diduga merangkap jabatan sebagai pengurus sekaligus Plt. Ketua Koperasi KNES, sebuah koperasi yang mengelola kebun sawit eks lahan PTPN V seluas 1.750 hektar.
Rangkap Jabatan dan Konflik Kepentingan
Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Kepala Desa dilarang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan keluarga, kelompok, atau pihak lain. Larangan itu juga menegaskan pejabat desa tidak boleh menjadi pengurus badan usaha yang memiliki potensi konflik kepentingan dengan masyarakat.

Namun di Sinama Nenek, larangan itu seolah tak berlaku. Abdul Rahman Chan bukan hanya tetap menjabat Kepala Desa, tetapi juga mengambil alih kepengurusan Koperasi KNES setelah ketua sebelumnya, Dr. Mhd. Alwi Arifin, dikabarkan melarikan diri dari desa.
Informasi dari sejumlah warga yang enggan disebut namanya menyebutkan, Kades mengendalikan penuh operasional kebun sawit masyarakat melalui kelompok KNES.
“Kami punya sertifikat hak milik yang diserahkan langsung oleh Presiden Jokowi. Tapi kami tidak boleh memanen buah sawit di kebun sendiri. Security di bawah perintah Kades melarang kami masuk,” ujar seorang warga dengan nada kesal.
Kebun Diblokir, Warga Dilarang Panen
Konflik berkepanjangan antara KNES dan Koperasi Pusako Sinama Nenek (KOPOSAN) sudah berlangsung lebih dari lima tahun. Lahan yang terdiri dari 850 anggota KOPOSAN itu merupakan kebun plasma eks PTPN V yang telah bersertifikat SHM (Sertifikat Hak Milik) atas nama masyarakat.

Namun, sejak kepengurusan KNES dikendalikan oleh Kades, akses ke kebun ditutup dan dijaga ketat security. “Jalan masuk diblokir. Security bilang ‘tidak boleh masuk, ini perintah Kades,’” kata sumber warga lainnya.
Situasi di lapangan kian memanas. Pada Selasa, 11 November 2025, puluhan polisi terlihat berjaga di area kebun yang diperebutkan. Masyarakat mengaku sudah mengalami kerugian ekonomi hingga Rp 1 triliun, karena tidak dapat memanen hasil sawit sejak konflik pecah.
Yang lebih mengejutkan, rangkapan jabatan Abdul Rahman Chan ini seolah mendapat “lampu hijau” dari Pemkab Kampar.
Hingga kini tidak ada tindakan tegas dari pemerintah daerah, padahal UU Desa secara jelas melarang Kepala Desa memegang jabatan lain yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Kondisi ini menimbulkan dugaan adanya pembiaran atau bahkan perlindungan politik di tingkat kabupaten.
Sejumlah pengamat menilai bahwa kasus ini tidak hanya soal konflik lahan, tapi juga soal integritas pejabat desa yang menguasai sumber ekonomi warga melalui kedok koperasi.
“Kalau Kades bisa menguasai koperasi, maka kontrol ekonomi masyarakat hilang. Ini bentuk korporatisasi di level desa,” ujar salah satu pemerhati kebijakan desa di Riau.
Langgar UU Desa dan UU Tipikor
Telaah hukum yang diperoleh MimbarNegeri.com menyebut, tindakan Abdul Rahman Chan berpotensi melanggar beberapa regulasi penting, antara lain:
• Pasal 29 huruf f dan g UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang melarang penyalahgunaan jabatan dan tindakan yang merugikan kepentingan masyarakat.
• Pasal 17 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang melarang pejabat mengambil keputusan dalam situasi benturan kepentingan.
• Pasal 3 UU Tipikor (UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001), jika terbukti ada penyalahgunaan wewenang untuk menguntungkan diri sendiri atau kelompok.
Apabila terbukti, Kades dapat dikenai sanksi administratif berupa pemberhentian serta pidana penyalahgunaan jabatan sesuai Pasal 421 KUHP.

Warga dan LBH Siap Tempuh Jalur Hukum
Pihak KOPOSAN disebut telah menunjuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk menempuh jalur hukum baik secara perdata maupun pidana. Gugatan direncanakan akan diajukan terhadap Kepala Desa dan pengurus KNES yang dianggap telah melakukan perampasan hak ekonomi warga.
“Kami sudah cukup sabar. Sekarang waktunya masyarakat menuntut haknya secara hukum,” ujar salah satu pengurus KOPOSAN.
Kasus di Sinama Nenek menjadi cermin buruk tata kelola pemerintahan desa di tengah upaya nasional memerangi korupsi hingga level akar rumput.
Jika tidak segera diusut, praktik rangkap jabatan ini bisa menjadi preseden bagi desa-desa lain, di mana kekuasaan Kepala Desa dijadikan alat menguasai sumber daya ekonomi rakyat.
Pemerhati hukum desa menilai, Mendagri dan Inspektorat Jenderal Kemendagri harus segera turun tangan melakukan audit dan pemeriksaan khusus.
Sementara Pemkab Kampar wajib menjelaskan ke publik mengapa rangkap jabatan tersebut dibiarkan berjalan tanpa sanksi.
Praktik rangkapan jabatan dan penguasaan koperasi oleh Kepala Desa Sinama Nenek bukan hanya pelanggaran etika pemerintahan, tetapi berpotensi menjadi tindak pidana penyalahgunaan wewenang.
Kasus ini menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah daerah terhadap desa dan membuka ruang bagi terbentuknya oligarki ekonomi di tingkat lokal.Masyarakat kini menanti keberanian aparat penegak hukum untuk bertindak tegas — karena keadilan di desa tidak boleh dikalahkan oleh kekuasaan di tangan satu orang Kepala Desa.*spurba









Tulis Komentar